Angin
bertiup sangat kencang. Awan hitam mulai muncul sedikit demi sedikit. Jingga
baru ingat, hari ini, siang hari ini ada acara ulang tahun Revan, sahabatnya. Yang
baru Jingga sadari, Dia telat! Mana mungkin ia tidak hadir di pesta ulang tahun
sahabatnya itu. Jingga bergegas bersiap-siap. Jingga tidak lupa dengan kado
yang sudah ia persiapkan sejak sebulan ini demi sahabatnya. Sebuah lukisan.
“Semoga saja Revan suka dengan lukisanku”
Jingga
sampai di rumah Revan. Ia punmemasuki rumah Revan yang sudah ramai sambil
membawa lukisan yang sudah dibungkus rapih di tangan nya. “Revan!” Revan yang
merasa namanya dipanggil, menoleh dan menghampiri Jingga. “Jingga! Aku kira
kamu lupa sama ulang tahun aku” sindir Revan, “Mana mungkin aku lupa sama ulang
tahun sahabatku!” mereka pun tertawa bersama. “Ini, buat kamu. Aku berusaha
keras loh buat bikin ini, demi kamu!”
Revan tertawa kecil dan menerimanya. Revan langsung membukanya saat itu juga. Revan
terpukau dan memuji lukisan yang dibuat Jingga untuknya. “Jingga, lukisan ini
bagus sekali! Terima kasih banyak, Jingga. Dan sepertinya kamu harus jadi
pelukis sungguhan, deh!” puji Revan.
Jingga berterma kasih dan tersenyum mendengar pujian Revan. Mereka pun
melanjutkan acara ulang tahun Revan hingga selesai.
Hari
senin ini, Jingga yang ditemani Revan pergi ke galeri yang berada di samping
sekolah mereka untuk melihat lukisan-lukisan baru. Setiap minggu, selalu ada lukisan-lukisan
baru yang dipajang disana. Jingga tidak pernah bosan melihat lukisan-lukisan di
galeri ini. Karena di galeri inilah Jingga terinspirasi untuk melukis.
Suatu hari, Revan melihat Jingga duduk sendirian di pinggir taman dekat sekolah, “Jingga, ngapain kamu disini? Kok kamu kelihatan sedih banget? Kamu bisa kok cerita sama aku, Jingga”. Jingga hanya bisa menghembuskan nafasnya. Jingga bercerita kepada Revan kalau orang tuanya kembali melarang Jingga untuk melanjutkan kegiatan melukisnya itu. Karena menurut orang tuanya, bakat Jingga hanya sementara saja. Revan pun menghibur Jingga, ia meyakinkan Jingga kalau suatu saat Jingga pasti bisa sukses dengan lukisan-lukisannya itu.
Di hari minggu pagi yang cerah ini, Jingga duduk di bangku taman komplek perumahannya untuk melanjutkan kegiatan melukis nya. Kali ini, ia mencoba melukis anak-anak kecil yang sedang bermanan di seluncuran. Jingga benar-benar mengekspresikan dirinya dalam lukisan itu. Di saat yang sama juga, seorang laki-laki mengenakan jaket berbulu berwarna abu-abu duduk tidak jauh dengan Jingga. Ia melihat Jingga sangat mahir dalam menggunakan kuas yang ia pakai. Ia melihat bagaimana Jingga memadukan warna-warna terang dan gelap dengan baik dalam lukisannya. Saat dilihatnya Jingga sudah selesai melukis, laki-laki itu menghampiri Jingga.
“Nak, Lukisanmu indah sekali. Jarang sekali ada anak seusiamu yang mau melukis seperti kamu” ucap laki-laki itu, “Ah! Mungkin karena aku sangat suka melukis” balas Jingga, “ngomong-ngomong, Bapak siapa ya?” tanya Jingga pada laki-laki itu “Perkenalkan, nama Saya Marthin Jose, saya pemilik salah satu museum seni di Bandung” Jingga kaget mendengarnya. Museum seni? Mimpi apa dia bisa bertemu laki-laki ini? ’Wow! Apakah dia akan menawarkan aku supaya lukisan-lukisan ku dipajang di museum nya? Ah mustahil! Jingga kamu terlalu banyak berharap!’ Jingga mengetuk-ketuk kepalanya sendiri. Laki-laki itu kebingungan melihat kelakuan Jingga. “Kamu tidak apa-apa kan?” Jingga hampir lupa untuk menjawab laki-laki itu, “Ah, tidak! Saya hanya kaget saja! Nama saya Jingga, senang berkenalan dengan anda” Jingga mengulurkan tangannya dan berjabatan dengan laki-laki itu. Setelah itu mereka berbincang-bincang di bangku taman.
“Jingga, saya benar-benar tertarik dengan hasil-hasil lukisanmu. Kalau boleh, saya ingin memajang salah satu dari lukisan-lukisan mu di museum seni saya. Itu pun kalau kamu tidak keberatan” tanya laki-laki itu dengan penuh harap kepada Jingga. ‘Siapa yang tidak mau karyanya dipajang di museum seni terkenal di Bandung itu!’ ucapnya dalam hati, “Tentu saja boleh! Suatu kebanggaan kalau karya saya bisa dipajang di museum seni bapak!” jawab Jingga dengan antusias.
Ia akhirnya mengajak laki-laki itu kerumahnya. Saat sampai rumah, Jingga memperkenalkan laki-laki itu kepada orang tua nya dan apa tujuan kedatangannya ke ruumah. Setelah ngobrol sedikit, Jingga pun mengambil sketch book-nya serta lukisan-lukisannya dan menunjukannya kepada laki-laki itu. Karya Jingga sangat memukau laki-laki itu. “Bagaimana karya-karya saya pak? Apa karya saya bisa dipajang di museum seni bapak?” tanya Jingga penasaran karena sedari tadi laki-laki itu terus melihat karya-karya Jingga tanpa berkata-kata. “Pasti, Jingga! Saya sangat kagum dengan lukisan-lukisan milikmu ini!” ucap laki-laki itu. Setelah sama-sama setuju, laki-laki itu membawa beberapa karya Jingga untuk dipajang di museum nya. Mereka pun berpamitan dan laki-laki itu pergi.
“Jingga, maafin ayah dan ibu, ya. Selama ini ayah selalu menganggap remeh kemampuan melukismu. Itu karena ayah dan ibu takut kalau kamu terlalu fokus dengan melukis, kamu akan melupakan pelajaran di sekolahmu. Ternyata ayah dan ibu salah, maafkan kami ya, Jingga” ucap Ayah Jingga penuh penyesalan. Jingga tersenyum mendengar Ayahnya, “Iya, ayah, ibu, Jingga maafkan.” Orang tua Jingga pun mengangguk dan kemudian memeluk Jingga.
Saat pulang sekolah, Jingga menghampiri Revan dan mengajak Revan untuk pulang bersama. “Revan! Aku punya kabar kembira loh!” ucap Jingga kegirangan “Kabar gembira apa sih? Kayaknya kamu sampai senang banget” Revan kebingungan melihat tingkah Jingga. “Sebagian lukisanku akan dipajang di musem seni di Bandung! Aku senang banget, Revan!” Revan terkaget mendengar ucapan Jingga. “Selamat, Jingga! Kamu hebat banget!” Jingga tidak berhenti tersenyum “Kapan-kapan kita ke Bandung ya, kita lihat karya-karya kamu disana!” ucap Revan yang membuat Jingga semakin senang.
Setelah
Jingga lulus SMA, Jingga meneruskan kuliahnya
dengan mengambil jurusan seni rupa yaitu melukis. Sembari kuliah, Jingga
masih tetap melukis karena profesi yang dimiliknya sekarang, pelukis. Sejak
karyanya dipajang di museum seni, banyak seniman-seniman yang menyukai karya
Jingga dan membelinya. Hal itu membuat Jingga senang dan membuat Jingga
bertekad untuk tetap melukis. Revan, sahabatnya, bahkan orang tuanya sangat
bangga dengan perjuangan Jingga. Sekarang Jingga telah mencapai apa yang
dicita-citakannya sejak kecil dan Jingga menjadi pelukis yang sangat sukses.
penulis: Vania Riana R.
Komentar
Posting Komentar